اللهم يا من هو الأول والآخر والظاهر والباطن صل وسلم على سيدنا محمد عبدك ورسولك السيد الكامل الفاتح الخاتم وعلى آله وصحبه أولا وآخرا وظاهرا وباطنا ملء السموات وملء الأرض وملء ما بينهما وملء ما شئت من شيء بعد ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه كثيرا واجعلني لك عبدا صدقا ومؤمنا حقا
Artinya: "Ya Allah, Dzat yang Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dhohir dan Yang Bathin, semoga Engkau melimpahkan rahmat dan salam kesejahteraan kepada pemimpin kami Nabi Muhammad, Hamba dan Rasul (utusan) Engkau, (manusia berpangkat) Raja yang Sempurna, Pembuka (segala yang tertutup), dan Penutup (seluruh Nabi dan Rasul), dan (semoga Engkau melimpahkan rahmat dan salam kesejahteraan kepada) seluruh keluarga dan para sahabat beliau, (yaitu dengan solawat yang berada) di awal (segala sesuatu, sampai) dan di ahir (segala sesuatu), (yaitu solawat) yang terlihat jelas (keberkahan, keutamaan, dan rahasia-rahasia keagungannya) dan (dengan solawat) yang tidak tampak (keberkahan, keutamaan, dan rahasia-rahasia keagungannya), (yaitu solawat) sepenuh seluruh lapis langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang ada di antara keduanya, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu sesudahnya, dan bagi Engkau (Ya Allah) segala puji dengan pujian yang banyak, bagus dan diberkahi dengan keberkahan yang banyak di dalamnya, dan jadikanlah hamba-Mu ini bagi Engkau, benar-benar sebagai hamba yang "shidqon" (benar, jujur, dipercaya, penuh kesungguhan dan keutamaan, serta ihlas dan tulus) dan benar-benar beriman (kepada Engkau)."
Menurut ba'dlul Ulama', pangkat tertinggi bagi setiap yang beriman adalah "(ٌعَبْد)" baca: "Abdun" yang artinya "Hamba". Karena tujuan penciptaan mahluk adalah "mangawulo atau ngumalungkung atau jungkung ngibadah" (bahasa jawa) atau meng-"Hamba" atau beribadah (bahasa Indonesia) sebagaimana disebutkan di dalam Surah Adh-Dhariyat, ayat 56, sebagai berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون
Artinya: "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
Kata "(لِيَعْبُدُونِ)": "supaya mereka mengabdi kepada-Ku" atau bisa juga diartikan: supaya mereka meng-"Hamba" kepada-Ku. Karena kata "(يَعْبُدُون)" dan "(عَبْد)" berasal dari akar kata yang sama yaitu "(َعَبَد)" baca: "`Abada" yang berarti "Menghamba atau Beribadah kepada".
Dan kita juga harus ingat firman Allah Surah Al-Isra, ayat 64:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُم بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
Artinya: "Dan hasunglah (provokasilah) siapa yang kamu (syetan) sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka."
Tetapi untuk "(عَبْد)" atau "hamba" yang bentuk plural kata itu adalah "(عِبَاد)" atau "para hamba" di dalam Surah Al-Isra, ayat 65 disebutkan:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ وَكِيلًا
Sesungguhnya "hamba-hamba"-Ku, kamu (syetan) tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga".
Banyak ulama' dan para Wali Allah di dalam memuji Rasulullah juga menggunakan kata "(عَبْد)" tersebut. Misalnya di dalam redaksi solawat ummiy:
اَللّٰــهُمَّ صَلِّ عَـلـٰى سَـيِّـدِنَـا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَـبِـيِّكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّـيِّ وَعَــلـٰى أَلِـهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّـمْ
Allahumma sholli ’alaa sayyidinaa Muhammadin "abdika" wa nabiyyika wa Rosuulikan Nabiyyil Ummiyyi wa a’laa alihi wa shohbihi wasallim.
Artinya: Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad "hamba", Nabi, dan utusan-Mu yang Ummiy dan juga kepada keluarga dan sahabatnya dan curahkanlah salam kesejahteraan untuk beliau dan mereka semua.
وفي فتح الباري شرح صحيح البخاري في كتاب التهجد ؛ باب قيام النبي صلى الله عليه وسلم الليل حتى ترم قدماه في ١٠٧٨ وفي النسخة البخاري ١٠٦٢
Di dalam Fathul Bari' hadits: 1078 dan di dalam al-Bukhoriy: 1062 disebutkan bahwa Rasulullah bersabda yang kurang lebih artinya: "Apakah tidak sepatutnya aku menjadi "Hamba" yang bersyukur?"
Berikut ini redaksi haditsnya:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ الْمُغِيرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَقُومُ لِيُصَلِّيَ حَتَّى تَرِمُ قَدَمَاهُ أَوْ سَاقَاهُ فَيُقَالُ لَهُ فَيَقُولُ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
"Ketika Nabi ﷺ bangun untuk mendirikan shalat (malam) hingga tampak bengkak pada kaki atau betis, beliau ditanya tentangnya. Maka Beliau menjawab: "Apakah tidak sepatutnya aku menjadi "Hamba" yang bersyukur?"
Lalu bagaimana sikap kita jika melihat seseorang yang tekun beribadah atau meng-"Hamba", tetapi buah ketaatannya tidak terlihat. Syekh Ibnu Athoillah berkata:
إِذَا رَأَيْتَ عَبْدًا أَقَامَهُ اللهُ تَعَالَى بِوُجُودِ الأَوْرَادِ ، وَأَدَامَهُ عَلَيْهَا مَعَ طُولِ الإِمْدَادِ فَلاَ تَسْتَحْقِرَنَّ مَا مَنَحَهُ مَوْلاَهُ ؛ لأَنَّكَ لَمْ تَرَ عَلَيْهِ سِيمَا الْعَارِفِينَ ، وَلاَ بَهْجَةَ الْمُحِبِّينَ ، فَلَوْلاَ وَارِدٌ مَا كَانَ وِرْدٌ
Jangan kau pandang sebelah mata (remehkan) jika kau melihat seorang hamba yang telah ditetapkan, dilanggengkan, dan ditolong oleh Allah dalam melaksanakan berbagai wirid, hanya karena tidak kau lihat (temukan) tanda-tanda 'arifiin, atau tanda-tanda muhibbiin (pencinta). Karena tanpa limpahan karunia (warid) dari Allah, tentu wirid itu tidak pernah ada.
Di antara tanda orang-orang 'arif adalah tidak mempedulikan nasib dan keinginan mereka. Mereka berserah diri sepenuhnya kepada Allah, mereka telah terbebas dari nafsu dan senantiasa hadir di hadapan Allah.
Sedangkan di antara tanda pecinta (muhibbin) adalah karena pengaruh cinta, mereka menuruti perintah dengan cepat, senantiasa berdzikir mengingat Allah. Mereka berusaha terus melayani-Nya, berusaha mendekat kepada-Nya dan lupa kepada selain-Nya, lebih mengutamakan-Nya dari pada selain-Nya.
Dan apabila kita jumpai orang-orang yang sibuk atau istiqamah melakukan wirid namun tidak kita jumpai tanda-tanda tersebut, kita dilarang meremehkannya. Karena adanya wirid adalah akibat dari warid yaitu limpahan karunia dari Allah. Sehingga ada istilah dalam bahasa jawa: "Mandi ora mandi yo ben, pokok panggah wiridan".
Manjur tidak manjur, yang penting terus membaca wirid (berdoa). Dengan membaca wirid, semoga Allah menjadikan diri kita "(عبدا صدقا)" hamba yang "shidqon" (benar, jujur, dipercaya, penuh kesungguhan dan keutamaan, serta ihlas dan tulus) sebagaimana yang dimohonkan di dalam solawat "abdun" di atas.
Syekh Ibnu Athoillah berkata:
مَا أَحْبَبْتَ شَيْئاً إِلَّا كُنْتَ لَهُ عَبْداً ، وَهُوَ لَا يُحِبُّ أَنْ تَكُوْنَ لِغَيْرِهِ عَبْداً
Tidaklah engkau mencintai sesuatu melainkan engkau menjadi hamba dari apa yang engkau cintai itu, dan Allah tidak ingin engkau menjadi hamba sesuatu selain dari pada-Nya.
Jika engkau mencintai dunia, maka engkau akan menjadi hamba dari dunia, karena kecintaanmu terhadap sesuatu membuatmu tunduk dan terikat kepadanya. Engkau juga tidak akan mau lepas dan mencari gantinya. Dikatakan, cintamu kepada sesuatu membutakan mata, menulikan telinga, dan membuatmu bisu. Sementara itu, Allah tidak suka kau menjadi hamba selain-Nya dan menyembah kepada selain-Nya.
وفي صحيح البخاري ؛ ٢٦٧٣ ما نصه : ﴿حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي ابْنَ عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ﴾ الي آخير الحديث . اهـ
Di dalam Shohih al-Bukzori disebutkan sebuah hadits:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
"Binasalah "hamba" dinar, dirham, kain tebal dan sutra. Jika diberi maka ia ridha jika tidak diberi maka ia tidak ridha". (HR. Bukhari).
Semoga kita dijadikan Allah termasul "hamba-hamba"-Nya yang "Shidqon" amin Allahumma Amin. Wallahu a'lam.