Yuk Ngaji

"وبالاخلاص اسلم واقرب الي الاجابة"
  • Home
Home » Fiqh » Materi Dasar: Wakaf

Materi Dasar: Wakaf

» Fiqh
» Selasa, 31 Maret 2020


WAKAF

Secara etimologi, wakaf berasal dari bahasa Arab "Waqf" yang berarti menahan (al-habs) dan mencegah (al-man'u). Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam.

Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah). (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun kepemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain), yaitu harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).

Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih.

Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta miliknya kepada orang lain atau lembaga dengan cara menyerahkan suatu benda yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya oleh masyarakat.

Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Rukun Wakaf terdiri dari empat macam, yaitu:
1. orang yang berwakaf (al-waqif).
2. benda yang diwakafkan (al-mauquf).
3. orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi).
4. lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

Syarat-syarat al-waqif ada empat:
(Pertama) orang yang berwakaf ini harus memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada siapa yang ia kehendaki. (Kedua) dia harus orang yang berakal. Jadi tidak sah wakafnya orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. (Ketiga) dia harus baligh. Dan (keempat) dia harus orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya, orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf): Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindah-milikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan:

1. Barang yang diwakafkan itu harus barang yang berharga.
2. Harta yang diwakafkan itu harus diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah.
3. Harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).
4. Harta itu harus berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) dari segi klasifikasinya ada dua macam: Pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dan lain-lain.

Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia harus orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik). Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu harus dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

Syarat-syarat shigah ada beberapa hal. (Pertama), ucapan itu harus mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. (Kedua), ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. (Ketiga), ucapan itu bersifat pasti. (Keempat), ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi, maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta yang telah berpindah kepada Allah. Dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum dan ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

Hukum wakaf adalah sunnah dan merupakan perbuatan terpuji.

Adapun rukun wakaf ada empat, yaitu: Orang yang berwakaf (al-wakif), Benda yang diwakafkan (al-mauquf), Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaihi), Lafaz atau ikrar wakaf (sigat).

Tata cara perwakafan: Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya diharuskan datang sendiri di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu harus menyerahkan surat-surat (sertifikat, surat keterangan, dan lain-lain) kepada PPAIW. PPAIW meneliti surat dan syarat-syaratnya dalam memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah. Di hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan dengan jelas, tegas, dan dalam bentuk tertulis. Apabila tidak dapat menghadap PPAIW dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. PPAIW segera membuat akta ikrar wakaf dan mencatat dalam daftar akta ikrar wakaf dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.

Kewajiban atau tugas nadzir adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.
2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.
3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Ada beberapa manfaat yang dapat diambil jika kita berwakaf, diantaranya adalah:

Melatih jiwa sosial dan membantu yang kesulitan

Berwakaf menjadi salah satu sarana untuk melatih jiwa sosial. Bagi kita yang memiliki harta benda lebih banyak, bisa memberikan kepada kaum yang tidak mampu atau kesulitan. Misalnya lewat tanah yang kita wakafkan untuk orang yang tidak memiliki tempat tinggal, dan lain sebagainya.

Belajar bahwa harta benda di dunia ini tidak kekal

Dengan berwakaf, kita belajar bahwa harta yang kita miliki harus dibagi dengan orang lain. Ada sebagian hak orang lain dalam harta kita. Kehidupan akhirat yang kekal bisa diselamatkan lewat kehidupan di dunia. Wakaf membantu kita untuk mendapatkan kehidupan akhirat yang lebih baik.

Amalan tidak terputus

Amalan wakaf tidak dapat terputus meski sudah meninggal dunia, jika dikelola terus menerus. Jadi meskipun kita sudah tidak ada di dunia ini, kita bisa tetap berguna bagi orang-orang di sekitar kita.

Mempererat tali persaudaraan dan mencegah kesenjangan sosial

Dengan berwakaf yang digunakan untuk kepentingan umum, masyarakat akan merasakan manfaat yang sama. Orang yang kekurangan bisa menikmati sarana-sarana publik yang lebih baik, dan orang yang lebih berada juga bisa berbagi. Sehingga, kesenjangan sosial akan semakin kecil dan tali persaudaraan akan terasa lebih erat.

Related Posts

  • Ummul Walad
  • Mudabbar
  • Wala'
  • Itqu
  • Hak-Hak

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Search Article

Label

  • Amalan (263)
  • Fiqh (137)
  • Fathul Qorib (132)
  • Al Qur'an (113)
  • Sanad (65)
  • Sholawat (35)
  • Kutub Islamiyah (25)
  • Biografi (22)
  • Kutubul Qoum (20)
  • Nasehat (16)
  • Adab (15)
  • Islamic Knowledge (12)
  • الاوراد بعد المكتوبات وزياداتها (9)
  • Kitab al-Fawaid (8)
  • Boso Jowo (7)
  • Ngaji Romadlonan 2018 (5)
  • 12 Bulan Qomariyah (4)
  • al-Kawakib al-Madliyyah (3)
  • Tatsbitul Fuadiy (2)
  • Al-Wasa'il (1)
  • Hilal 12 Bulan (1)
  • Qur'an dan Translitersi (1)
  • Transliterasi (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

↑